Oleh Daeng Acid
Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) 1996 — Jabatan baru datang seperti sepatu mengilap di etalase: menggoda, menjanjikan, sekaligus menantang. Tahun itu, saya resmi menjabat sebagai Kepala Sub Seksi Telegraph Telkom Batam.
Sebuah promosi yang menempatkan saya untuk pertama kalinya sebagai pemimpin unit. Saya bertanggung jawab atas tim operator layanan 108 dan pengelola telegram—layanan vital sebelum era digital menjamur.
Rasa bangga tak tertahan. Jabatan baru, gaji baru, gaya baru. Seperti anak kecil yang baru membeli sepatu, saya melangkah ke kantor dengan penuh semangat dan dada membusung. Saya merasa bisa berlari lebih jauh dan melompat lebih tinggi.
Layanan 108 saat itu adalah jantung informasi masyarakat. Saat Google belum lahir, operator kami menjadi andalan: dari nomor telepon penting hingga pertanyaan seperti “di mana toko bunga terdekat?”. Sedangkan telegram, meski sederhana, menjadi penyampai kabar yang dinanti—terutama bagi mereka yang merantau jauh dari keluarga.
Di balik kemilau jabatan, saya memikul tanggung jawab besar. Dua belas operator 108 dan delapan petugas caraka berada di bawah koordinasi. Setiap panggilan harus dilayani dengan sigap, setiap telegram wajib terkirim tepat waktu. Ini bukan sekadar pekerjaan, tapi soal menjaga kepercayaan publik pada layanan Telkom.
Namun, seperti sepatu baru yang perlahan kehilangan kilaunya, euforia jabatan itu pun memudar. Saya mulai menyadari betapa kompleksnya memimpin tim dengan karakter beragam. Ada operator yang sabar, ada yang mudah tersulut emosi.
Ada yang cepat menghafal database informasi, ada yang tertinggal. Bahkan ada yang kerap diteror penelepon iseng. Tugas saya bukan hanya soal teknis, tapi juga menjadi penengah, motivator, sekaligus pelindung mereka.
Tantangan serupa terjadi di layanan telegram. Setiap momen besar, seperti hari raya, jumlah pesan yang harus diketik dan dikirim melonjak tajam. Kami bekerja ekstra, mengetik lewat mesin telex dengan akurasi tinggi. Setiap huruf, setiap angka, tidak boleh salah.
Ritme kerja yang repetitif kerap menimbulkan kejenuhan. Untuk itu, kami mencoba berinovasi. Kami memperbarui database informasi, melatih kemampuan komunikasi tim, hingga mengusulkan perluasan layanan 108 ke info umum, bukan hanya soal nomor telepon atau alamat.
Kini, setelah tiga dekade berlalu, saya menoleh ke belakang dan menyadari satu hal: sepatu paling berharga bukan yang paling kinclong saat baru dibeli, tapi yang tetap nyaman dipakai menempuh ribuan langkah. Jabatan memang menggoda dengan segala kemudahan, tapi yang abadi adalah kontribusi dan nilai yang kita tinggalkan.
Operator 108 yang saya pimpin dulu mungkin tak lagi dikenal generasi sekarang. Tapi bagi masyarakat Batam saat itu, setiap informasi yang tersampaikan, setiap telegram yang terkirim, adalah bagian dari sejarah yang membekas.
Saya hanya menjabat Kasubsi Telegraph selama setahun lebih sebelum mutasi ke unit lain. Tapi sejak saat itu, saya paham satu hal: jabatan, seperti sepatu, bukan untuk dipamerkan atau digunakan menginjak orang lain. Ia hanya alat—dan setiap alat meninggalkan jejak.**
Baca juga: Menjahit Jejak di Telkom: Kisah Daeng Acid Menyulam Indonesia dari Kabel hingga Digital