MATAPEDIA6.com, BATAM – Di tengah maraknya layanan transportasi online dan kehadiran bus Trans Batam, sejumlah angkutan kota (angkot) tua seperti Bimbar masih setia melayani masyarakat Kota Batam.
Meski kondisi fisik terlihat jauh dari kata laik jalan, angkot-angkot ini tetap menjadi pilihan sebagian warga karena ongkos murah dan akses yang menjangkau pelosok kota.
Namun, nasib angkot tua ini kian memprihatinkan tdak hanya tergerus zaman, mereka juga dihadapkan pada minimnya dukungan dari pemerintah maupun koperasi transportasi yang dulunya menaungi mereka.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Batam, Salim, mengatakan tanggung jawab peremajaan angkot swasta sepenuhnya berada di tangan pemilik kendaraan atau badan usaha yang mengelolanya.
“Peremajaan hanya kami lakukan untuk Trans Batam. Angkutan umum swasta seperti angkot dan taksi berada di bawah kendali pemilik atau koperasi masing-masing. Kami hanya melakukan pengawasan teknis, seperti uji KIR dan kelayakan kendaraan,” ujar Salim, Sabtu (19/7/2025).
Baca juga: Wakil Kepala BP Batam Genjot Investasi, Dorong Industri Maritim dan Pariwisata Bahari
Ia juga menyebutkan saat ini belum ada alokasi anggaran dari Pemerintah Kota Batam untuk membantu peremajaan angkot swasta, termasuk bantuan suku cadang.
Namun ke depan, Dishub berencana memperluas jangkauan Trans Batam dengan sistem feeder ke kawasan permukiman.
“Kami ingin layanan Trans Batam menjangkau lebih banyak warga. Tapi tetap, keselamatan penumpang adalah prioritas, sehingga angkot swasta tetap harus melalui uji kelayakan rutin,” lanjutnya.
Pemilik: Kami Sudah Tak Dianggap Ada Lagi
Sementara itu, para pemilik dan sopir angkot Bimbar mengaku kondisi mereka sudah berada di titik nadir.
Seorang pemilik angkot jurusan Dapur 12–Jodoh yang enggan disebutkan namanya, mengaku merasa tidak lagi mendapat perhatian dari pemerintah maupun koperasi transportasi.
“Kita ini ibarat tinggal tunggu waktu saja. Tak ada lagi yang mengatur, tak ada yang mengawasi. Jalan sendiri, urus sendiri. Kalau ditangkap, ya diurus biar bisa jalan lagi,” ucapnya dengan nada getir.
Baca juga: DPRD Batam Sahkan Perda Angkutan Massal Berbasis Jalan, Trans Batam Siap Bertransformasi
Ia menjelaskan para sopir kini bekerja tanpa aturan.
Mobil dibawa pagi dan dikembalikan sore, dengan setoran yang bahkan kadang hanya Rp100–150 ribu per hari.
Jika mobil mogok, sopir cukup memberi kabar dan kendaraan ditinggal begitu saja di pinggir jalan.
“Kalau rusak, tinggalin aja. Polisi pun udah tak peduli. Kita ini udah dianggap tak ada,” katanya.
Lebih miris lagi, pemilik mengakui tak lagi membayar pajak kendaraan karena merasa hanya tinggal menunggu waktu hingga mobil benar-benar tak bisa dipakai.
“Bisa lihat sendiri di jalan, banyak bodi mobil udah hancur. Mesin aja yang masih nyala. Kalau udah benar-benar rusak, ya dijual kiloan, jadi besi tua,” tambahnya.
Angkot-angkot tua seperti Bimbar pernah menjadi tulang punggung mobilitas warga Batam lintas kecamatan.
Dengan ciri khas warna merah untuk rute Dapur 12–Jodoh, dan biru untuk Tanjunguncang–Batam Center, mereka pernah berjaya.
Namun kini, trayek mereka diambil alih Trans Batam.
Ditambah kehadiran ojek online, Grab, Maxime, dan akses kendaraan pribadi yang makin mudah, membuat Bimbar kehilangan penumpang sedikit demi sedikit.
“Semua jalur sudah diambil Trans Batam. Orang naik motor, pesan online. Kami ini cuma mau cari rezeki halal. Kalau ini mati, kami kerja apa lagi?” keluh pemilik.
Fenomena angkot tua di Batam mencerminkan tantangan besar dalam sistem transportasi kota antara modernisasi dan keberpihakan sosial.
Baca juga: Ditlantas, BPTD, dan Jasa Raharja Gelar Ramp Check Angkutan Orang dan Barang di Batam
Di satu sisi, pemerintah ingin menghadirkan layanan publik yang layak dan aman.
Di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang menggantungkan hidup pada sistem lama yang makin tersisih.
Perlu ada kebijakan transisi yang adil, agar peremajaan transportasi tak hanya soal kendaraan, tapi juga menyelamatkan nasib para pekerja dan pelaku sektor transportasi informal yang kini merasa “tak dianggap ada lagi”.
Penulis: Luci |Editor: Zalfirega