MATAPEDIA6.com, JAKARTA– Bank Indonesia (BI) kembali memberi sinyal kuat dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi. Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 19–20 Agustus 2025 memutuskan menurunkan BI-Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,00%. Suku bunga Deposit Facility ikut dipangkas ke 4,25% dan Lending Facility turun ke 5,75%.
Langkah ini menegaskan strategi BI menjaga stabilitas harga dan nilai tukar Rupiah, sekaligus membuka ruang pertumbuhan ekonomi lebih agresif. Proyeksi inflasi 2025–2026 tetap terkendali di kisaran 2,5±1%, memberi ruang longgar bagi penurunan suku bunga tanpa mengganggu kestabilan.
“Ke depan, BI akan terus mencermati peluang penurunan suku bunga tambahan demi mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dengan tetap menjaga stabilitas Rupiah,” ungkap Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Junanto Herdiawan dalam keterangannya, Kamis (21/8/2025).
Ia menegaskan, kebijakan moneter akomodatif ini akan dipadukan dengan makroprudensial longgar. Tujuannya jelas: menurunkan bunga kredit, memperbesar likuiditas perbankan, dan memperlancar aliran pembiayaan ke sektor riil.
Baca juga:BI Kepri Kejar Target 50 Juta Transaksi QRIS, Pemprov Siap Dorong Hingga Pulau Terluar
Instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) hingga pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder terus dioptimalkan untuk mempercepat transmisi penurunan suku bunga.
“BI juga memperluas strategi digitalisasi pembayaran melalui QRIS antarnegara dan penguatan infrastruktur sistem pembayaran agar aktivitas ekonomi lebih efisien,” sebut dia.
Kebijakan ini diambil di tengah tekanan global. Sejak 7 Agustus 2025, Amerika Serikat memperluas tarif resiprokal dari 44 menjadi 70 negara, termasuk India dan Swiss.
Lonjakan tarif diperkirakan menekan kinerja manufaktur dan ekspor global, sehingga pertumbuhan ekonomi dunia 2025 berisiko turun di bawah 3%.
Namun, BI menilai Indonesia cukup tangguh. Cadangan devisa stabil di level tinggi USD 152 miliar, Rupiah menguat 1,29% pada Agustus, dan aliran modal asing kembali deras ke pasar obligasi serta saham domestik.
Ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 tumbuh 5,12% (yoy), lebih tinggi dari kuartal sebelumnya 4,87%. Motor utamanya berasal dari investasi, konsumsi rumah tangga, dan ekspor ke AS sebelum tarif diberlakukan.
“Sektor pariwisata juga mencatat lonjakan signifikan,” ungkap dia.
Dengan tren ini, BI optimistis pertumbuhan 2025 berada di atas titik tengah proyeksi 4,6–5,4%. Pemerintah diperkirakan memperkuat momentum melalui belanja fiskal dan program prioritas, sementara BI mengoptimalkan bauran kebijakan moneter dan digitalisasi pembayaran.
Kredit perbankan pada Juli 2025 tumbuh 7,03% (yoy), sedikit melambat dari Juni 7,77%. Sektor ekspor, tambang, perkebunan, transportasi, dan industri masih jadi penopang utama.
Namun, bunga kredit yang masih tinggi di kisaran 9,16% menahan percepatan pembiayaan.
BI menilai penurunan bunga kredit perlu lebih agresif agar pertumbuhan kredit bisa menyentuh kisaran target 8–11% sepanjang 2025.
Hingga awal Agustus, insentif likuiditas makroprudensial yang digelontorkan BI mencapai Rp384 triliun, mayoritas disalurkan ke sektor prioritas seperti pertanian, konstruksi, pariwisata, dan UMKM.
Inflasi Juli 2025 stabil di 2,37% (yoy). Inflasi inti terkendali di 2,32%, volatile food 3,82%, dan administered prices hanya 1,32%. Rasio kecukupan modal perbankan juga tinggi di 25,81%, sementara NPL bruto rendah di 2,22%.
“Dengan stabilitas ini, BI menilai kebijakan longgar bisa tetap dijalankan tanpa mengorbankan ketahanan sektor keuangan,” paparnya.
Momentum digitalisasi ekonomi juga semakin kuat. Juli 2025 mencatat 4,44 miliar transaksi pembayaran digital, tumbuh 45,3% (yoy). QRIS bahkan melonjak 162,77% dengan adopsi merchant yang makin meluas.
Sistem BI-FAST memproses transaksi ritel Rp1.016 triliun, sementara BI-RTGS mencatat transaksi bernilai Rp19.791 triliun.
Dengan menurunkan BI-Rate ke level 5,00%, Bank Indonesia memainkan peran ganda: menjaga stabilitas dan mengakselerasi pertumbuhan.
Di tengah ketidakpastian global akibat perang tarif AS, BI menyiapkan bauran kebijakan yang pro-pasar, digitalisasi pembayaran, dan insentif likuiditas agar ekonomi domestik tetap tumbuh kuat dan berdaya saing.
Baca juga:BI Kepri Dorong UMKM Naik Kelas di Tengah Ketidakpastian Global
Editor:Zalfirega