MATAPEDIA6.com, JAKARTA – Dalam waktu kurang dari dua tahun, Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) berhasil mengubah arah perdagangan karbon nasional. Dari sekadar inisiatif hijau, kini menjadi panggung baru yang menempatkan Indonesia di jantung transisi energi Asia.
Beroperasi sejak 26 September 2023 di bawah naungan Bursa Efek Indonesia (BEI), IDXCarbon mencatat lonjakan fantastis sepanjang 2025.
Volume perdagangan karbon mencapai 696.763 ton CO₂ ekuivalen (tCO₂e) dengan nilai transaksi Rp27,74 miliar—melompat 483 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Frekuensi transaksi pun naik dua kali lipat lebih, dari 50 kali menjadi 129 kali.
Baca juga:Bursa Efek Indonesia Kian Dominan di Asia Tenggara, 15 Persen Investor dari Sumatra Berkontribusi
“Ini bukan sekadar instrumen perdagangan, tapi strategi menuju Net Zero Emission 2060” kata perwakilan BEI Kepulauan Riau Aurelia dalam keterangannya, Jumat (10/10/2025).
Menariknya, pelaku perdagangan dan “retirement” karbon di IDXCarbon kini makin beragam. Tak hanya korporasi besar, tapi juga individu dan komunitas yang menggunakan kredit karbon untuk mengimbangi emisi dari kegiatan seperti seminar, pernikahan, hingga pelantikan profesor.
Hingga Agustus 2025, volume retirement mencapai 554.076 tCO₂e naik 34 persen dibanding tahun sebelumnya. Fakta ini menunjukkan meningkatnya kesadaran publik bahwa jejak karbon bukan hanya urusan industri, tapi tanggung jawab bersama.
Secara regional, capaian IDXCarbon membuat pesaingnya tertinggal jauh. Dalam periode Januari–Agustus 2025, volume perdagangan karbon di Malaysia hanya 21.586 tCO₂e dan Jepang 239.674 tCO₂e—jauh di bawah Indonesia.
Baca juga:Indeks Saham, Kompas Investor Baca Arah Ekonomi
Kinerja itu memperkuat posisi Indonesia sebagai carbon hub Asia, apalagi sejak Januari 2025 pemerintah membuka perdagangan karbon lintas negara melalui IDXCarbon.
Langkah ini langsung mendapat pengakuan global lewat Carbon Positive Awards 2025 dari Green Cross UK, yang menobatkan IDXCarbon sebagai Best Official Carbon Exchange in Emerging Economy.
Meski progresif, jalan menuju pasar karbon ideal belum sepenuhnya mulus. Pajak karbon nasional belum diberlakukan penuh, dan sektor pembangkit listrik masih menunggu peta jalan emisi 2025.
Namun Indonesia terus memperkuat posisi melalui kerja sama internasional. Penandatanganan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan Gold Standard Registry dan proses negosiasi dengan VERRA Registry membuka jalan agar kredit karbon Indonesia diakui dalam mekanisme global seperti Article 6 Paris Agreement dan CORSIA.
Untuk menopang ekosistem hijau, BEI meluncurkan program CarbonACT Indonesia, yang memuat kampanye publik, Carbon Calculator Net Zero Incubator hingga penerbitan produk investasi hijau seperti obligasi berkelanjutan, reksadana ESG, dan indeks saham hijau.
Selain itu, panduan ESG Metrics Reporting Guidelines dengan 28 indikator utama kini memberi standar jelas bagi emiten dalam menyusun laporan keberlanjutan—memastikan investasi hijau berjalan transparan dan terukur.
Pertumbuhan transaksi, pengakuan internasional, dan partisipasi publik menegaskan: perdagangan karbon di Indonesia bukan lagi konsep, tapi realitas baru.
Tantangan regulasi justru menjadi ruang pembuktian. Jika terus dijaga kolaborasinya antara pemerintah, pelaku pasar, dan masyarakat, IDXCarbon berpeluang menjadikan Indonesia pusat perdagangan karbon terbesar di Asia—bahkan dunia.
Baca juga:Mudahnya Berinvestasi di Pasar Modal, Jalan Menuju Masa Depan Finansial Mandiri
Editor:Zalfirega