MATAPEDIA6.com, BATAM — Pagi itu, di dapur sederhana Kavling Lama, Sagulung, aroma gorengan singkong tipis menguar. Misna (49), seorang ibu rumah tangga, sibuk mengemas keripik beling dan kue bawang. Jumlahnya hanya belasan bungkus, tetapi sebagian sudah dipesan untuk Singapura dan Malaysia.
“Awalnya hanya oleh-oleh buat keluarga di Singapura, lama-lama malah jadi pesanan rutin,” ujar Misna.
Wanita berusia 49 tahun itu meracik dan mengolah kue bawang serta keripik, lalu memasarkan produknya di kawasan Industri Mukakuning hingga sekolah. Dari situ, ia membangun jaringan ke luar, meski tidak besar namun cukup untuk memenuhi kebutuhan.
“Kalau ada pesanan, baru saya buat. Tidak banyak, paling sepuluh bungkus sekali produksi,” ujarnya sambil tersenyum, sembari menunjukkan beberapa kantong keripik yang siap diantar pembeli.
Usaha kecil ini lahir di tengah pandemi COVID-19. Saat itu, warung kelontong yang ia kelola di rumah mulai sepi pembeli. Situasi sulit justru memantik ide baru: mencoba peruntungan lewat keripik buatan sendiri.
“Harganya saya buat lebih murah dari yang lain, supaya orang mau mencoba,” katanya yang tak mau menyebut secara rinci detail harga dan modal.
“Ah, ngak usahlah modal dan harga, yang jelas cukup untuk makan, kalau beli satu kantong 60-80 ribu,” sebut dia lagi.
Namun, usaha keripik tradisional ini memang berjalan ala kadarnya. Produksi hanya mengikuti pesanan, tanpa stok berlebih.
“Kalau sudah habis baru buat lagi. Takutnya kalau bikin banyak tidak laku,” tambahnya.
Meski terbatas, keripik buatan tangan dari Kavling Lama dijemput warga Kampung Becek ini tetap punya perjalanan panjang— pembeli, lalu menyeberang laut hingga ke negeri jiran. Sebuah kisah sederhana tentang bertahan hidup, kreativitas, dan cita rasa kampung yang mampu melintasi batas negara.
Kisah Misna bukan sekadar cerita camilan rumahan. Ia mencerminkan denyut baru UMKM Kepri: pelaku usaha kecil berani melangkah ke pasar global, meski dimulai dari skala terbatas.
Baca juga:BI Kepri Sebut Gebyar Melayu Pesisir 2025, Dorong UMKM Kuasai Pasar Ekspor
Ekspor dari Dapur Kontrakan
Di sudut Sagulung lain, sepasang suami istri mengaduk adonan ikan tenggiri. Kardus bertuliskan “Johor Bahru 24 kg” dan “Kuala Lumpur 12 kg” menunggu dikirim. Usaha ini awalnya berjalan dari dapur kontrakan.
Kini, produk olahan laut mereka menembus pasar Malaysia secara rutin.
“Kalau dulu ekspor itu terasa mustahil, sekarang bisa jalan walau kecil,” kata sang pemilik usaha.
Batam dengan letak geografis strategis — dekat Singapura dan Johor Bahru — menjadi pintu alami ekspor UMKM.
Cerita ini bukan kasus tunggal. Kementerian Koperasi dan UKM mencatat ekspor produk UMKM Indonesia tahun 2023 mencapai 15,7% dari total ekspor nasional, dengan target meningkat hingga 21% pada 2025. Batam sebagai hub perdagangan internasional menjadi laboratorium nyata percepatan ini.
Momentum Ekonomi: BI Dorong Akselerasi Ekspor
Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Provinsi Kepri, Rony Widijarto, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kepri menjadi modal penting. “Ekonomi Kepri tumbuh 7,14% pada triwulan II 2025—tertinggi se-Sumatera. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk mengakselerasi ekspor dan memperluas peluang usaha,” ujarnya dalam Bincang Bareng Media, Jumat (15/8/2025).
Rony menjelaskan, rangkaian kegiatan Gebyar Melayu Pesisir (GMP) 2025 bukan sekadar pameran, melainkan langkah nyata memperluas pasar UMKM ke tingkat global. Agenda ini meliputi fashion show, business matching, talkshow, hingga showcasing kuliner khas Melayu. Pameran berlangsung setiap hari, 21–25 Agustus 2025, di One Batam Mall.

“UMKM Kepri harus tampil beda. Dari motif Melayu hingga rasa kuliner, semuanya harus punya cerita dan daya tarik ekspor,” kata pria berkacamata itu.
Ekosistem Baru: Koperasi Desa hingga Hilirisasi
Di tempat yang sama, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kepri, Riki Rionaldi, menekankan pentingnya ekosistem yang kuat. “Pak Gubernur Ansar Ahmad bersama seluruh kepala daerah berkolaborasi dengan BI membangun strategi pertumbuhan UMKM,” katanya kala itu pada wartawan.
Menurut Riki, Kepri tahun ini memperoleh DAK nonfisik Rp13,3 miliar dari APBN, yang digunakan untuk pendataan tunggal UMKM, pelatihan, hingga pendampingan 3.600 pelaku usaha. Pemprov juga meluncurkan Koperasi Merah Putih di desa/kelurahan sebagai motor ekonomi baru.
Dari 419 desa/kelurahan, sudah berdiri 47 koperasi berbadan hukum yang menjadi percontohan nasional.
“Ini termasuk di Desa Kuala Simpang, Bintan, yang punya gerai tembakau, penyalur gas, klinik kesehatan, hingga unit simpan pinjam,” sebut Riki.
Tak hanya itu, pengembangan UMKM diarahkan ke hilirisasi hasil laut bernilai tinggi seperti teripang dan gonggong untuk industri kosmetik dan kesehatan. Pemprov bahkan menggandeng SMK perikanan untuk riset agar budidaya tetap berkelanjutan.
“Dengan ekosistem baru ini, daya saing UMKM Kepri akan semakin kuat. Kita punya potensi lokal yang unik dan sulit disaingi daerah lain,” tegas Riki.
Menuju Kemandirian Ekonomi yang Berkelanjutan
Bagi UMKM kecil di Batam, menembus Singapura mungkin dimulai dari 10 bungkus keripik beling. Namun, dengan dukungan kebijakan, inovasi daerah, dan momentum ekonomi yang tumbuh, potensi itu bisa berkembang menjadi rantai usaha global.
Akselerasi ekspor bukan semata angka di neraca perdagangan. Ia hadir dalam cerita keluarga yang bertahan hidup, inovasi koperasi desa, hingga langkah kecil UMKM yang berani menyeberang. Dari dapur sederhana di Kepri, kemandirian ekonomi berkelanjutan mulai menemukan jalannya.
Baca juga:QRIS Resmi Berlaku di Jepang, Bank Indonesia Bidik Pasar Global Pembayaran Digital
Penulis: Zalfirega|Editor: Trio

















