MATAPEDIA6.com, BATAM – Setelah puluhan tahun hanya menjadi wacana, para perantau Minang di Kepulauan Riau akhirnya menandai sebuah babak baru dalam sejarah diaspora mereka: lahirnya Keluarga Besar Rumah Gadang (KBRG), sebuah paguyuban yang diharapkan mampu menjadi simpul silaturahmi antarorganisasi Minang di provinsi kepulauan ini.
Berbeda dari proses pendirian organisasi yang kerap diwarnai intrik dan perebutan posisi, Mubes I KBRG yang digelar di Pacific Palace Hotel justru mencatat hal yang langka—pemilihan ketua hanya berlangsung 15 menit, tanpa gaduh, tanpa drama, dikutip dalam rilis pada Minggu (11/5/2025) kemarin.
H. Nurman, pengusaha asal Tanjungpinang, secara aklamasi ditunjuk menjadi Ketua KBRG pertama, menandakan munculnya kesadaran kolektif untuk meredam ego sektoral demi kepentingan bersama.
Paguyuban ini lahir dari konsensus delapan organisasi Minang di tujuh kabupaten/kota di Kepri. Mereka mengesampingkan identitas organisasi masing-masing untuk mengusung semangat yang lebih besar: membangun “Rumah Gadang” yang menampung keberagaman dan menyatukan langkah.
“Ini sejarah,” ujar Iskandar Yakob, tokoh sepuh Minang di Batam. “Dulu gagasannya hanya sampai di angan-angan, karena kita terlalu sibuk dengan bendera masing-masing. Tapi hari ini kita membuktikan bahwa bersatu itu mungkin.”

Mabes paguyuban Rumah Gadang, Minggu (12/5). Foto:dok/Aflian Zainal-PWI Kepri
Lebih dari Sekadar Organisasi
KBRG bukanlah induk organisasi, bukan pula tandingan dari struktur yang sudah ada. Dalam pernyataannya, H. Nurman menyebut KBRG sebagai wadah koordinatif yang bertujuan membangun jejaring antarperantau Minang di pulau-pulau Kepri yang tersebar dan kerap terisolasi dalam kelompok kecil.
“Potensi kita besar, tapi terpecah-pecah. Ini saatnya kita saling merangkul,” ujarnya.
Hal ini sejalan dengan visi Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Dt Marajo, yang hadir langsung membuka Mubes. Ia menegaskan pentingnya membangun jembatan antara “ranah” (kampung halaman) dan “rantau” (tanah perantauan), bukan sekadar dalam bentuk kiriman uang atau proyek, tapi juga nilai, semangat, dan kebanggaan identitas.
“Kita butuh perantau yang jadi etalase Minang. Tunjukkan bahwa kita bisa membangun daerah lain, bukan cuma pulang kampung bawa uang,” katanya.
Tantangan dari Dalam
Namun tak semua pihak menyambut hangat kelahiran KBRG. Beberapa suara skeptis muncul, mencemaskan potensi benturan dengan organisasi Minang yang sudah eksis. Tapi baik Iskandar Yakob maupun Syaiful Badri (Ketua Steering Committee) menegaskan bahwa kritik adalah bagian dari dinamika sehat, bukan hambatan.
“Organisasi ini ibarat rumah terbuka. Semua boleh masuk dan keluar. Tidak ada paksaan,” kata Syaiful.
Makna Simbolik yang Lebih Dalam
Dalam kacamata sosiologis, lahirnya KBRG mencerminkan upaya komunitas diaspora Minang untuk menemukan titik temu baru di tengah realitas perantauan yang berubah. Jika dulu kekuatan perantau bertumpu pada ikatan nagari dan marga, kini dibutuhkan wadah yang mampu melintasi sekat itu—apalagi di kawasan multietnik seperti Kepri.
Dengan dinamika politik lokal yang kian kompleks dan tekanan identitas yang makin kuat, paguyuban seperti KBRG bisa menjadi kekuatan kultural dan sosial yang menjembatani bukan hanya antarperantau, tapi juga antara Minang dan komunitas lain.
Editor:Zalfirega