MATAPEDIA6.com, JAKARTA– Setiap kali Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak naik atau turun, pelaku pasar langsung merespons. Angka itu bukan sekadar statistik, tetapi sinyal kesehatan ekonomi yang menjadi kompas bagi investor.
Indeks saham ibarat termometer pasar modal: kenaikannya menandakan optimisme, sementara penurunannya mencerminkan tekanan.
Tim Kantor Perwakilan Bursa Efek Indonesia (BEI) Kepulauan Riau, Aurelia, menjelaskan bahwa indeks saham adalah ukuran statistik yang mencerminkan pergerakan harga sekumpulan saham terpilih.
Baca juga:Bursa Efek Indonesia Kian Dominan di Asia Tenggara, 15 Persen Investor dari Sumatra Berkontribusi
“Indeks saham menjadi cermin dari kondisi pasar. Ia dihitung berdasarkan metodologi tertentu dan dievaluasi secara berkala, sehingga dapat digunakan sebagai barometer kepercayaan investor,” ujarnya dalam keterangannya, Senin (15/9/2025).
Di Indonesia, IHSG menjadi acuan utama karena mencakup seluruh saham yang tercatat di BEI. Selain itu, indeks seperti LQ45, IDX30, dan IDX80 memberi gambaran lebih spesifik terhadap saham-saham dengan likuiditas tinggi dan kapitalisasi besar.
Sedangkan di tingkat global, indeks Dow Jones, NASDAQ, dan S\&P 500 bukan hanya tolok ukur pasar Amerika Serikat, tetapi juga acuan investor internasional.
Indeks tidak dibentuk secara sembarangan. BEI memilih saham dengan kriteria ketat, mulai dari likuiditas, frekuensi transaksi, hingga kapitalisasi pasar.
Setelah itu, pergerakan harga dihitung dengan metode tertentu—umumnya berbasis kapitalisasi pasar tertimbang free float—sehingga saham-saham besar memberi pengaruh signifikan terhadap pergerakan indeks.
Menurut Aurelia, fungsi indeks saham sangat luas. “Indeks tidak hanya membantu investor individu menilai portofolio, tetapi juga digunakan institusi keuangan, manajer investasi, bahkan pemerintah untuk membaca arah pasar,” katanya.
Bagi investor, indeks berperan sebagai tolok ukur (benchmark). Jika imbal hasil portofolio berada di bawah IHSG, berarti investasi underperform. Sebaliknya, portofolio yang melampaui indeks disebut outperform.
Selain itu, indeks menjadi dasar lahirnya produk keuangan modern seperti reksa dana indeks dan Exchange Traded Fund (ETF) yang memberi eksposur pasar dengan biaya rendah.
Indeks juga berfungsi strategis. Investor aktif menggunakan pergerakan indeks untuk membaca tren. Ketika indeks menanjak konsisten, pasar memasuki fase optimisme sehingga investor bisa meningkatkan alokasi saham.
Sebaliknya, penurunan tajam indeks memberi sinyal agar investor mengevaluasi ulang risiko portofolio.
Meski penting, Aurelia mengingatkan indeks punya keterbatasan. “Sebagian indeks hanya memuat saham besar, sehingga tidak mencerminkan dinamika emiten kecil atau menengah yang juga punya potensi tumbuh,” ujarnya.
Selain IHSG dan LQ45, BEI menghadirkan beragam indeks tematik dan sektoral. Ada IDX BUMN20 untuk saham perusahaan milik negara, JII dan ISSI bagi investor syariah, hingga indeks berbasis keberlanjutan seperti SRI-KEHATI dan ESG Leaders. BEI juga meluncurkan indeks berbasis dividen (IDX High Dividend 20) serta indeks berbasis valuasi (IDX Value30).
Keberagaman itu membuka ruang bagi investor memilih strategi sesuai tujuan, apakah fokus pada saham syariah, mengejar dividen, atau menaruh modal di sektor tertentu.
“Dengan memahami indeks, investor tidak lagi sekadar menebak arah pasar, tapi bisa mengambil keputusan berbasis data,” tegas Aurelia.
Baca juga:Mudahnya Berinvestasi di Pasar Modal, Jalan Menuju Masa Depan Finansial Mandiri
Editor:Zalfirega