MARAPEDIA6.COM, SUMUT – Bupati Humbang Hasundutan (Humbahas) Dosmar Banjarnahor secara tegas meminta aparat penegak hukum (APH) menindak pelaku pembalakan hutan di areal hulu terjadinya longsor dan banjir bandang di Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Dosmar Banjarnahor mengatakan yang terjadi saat ini juga sangat masif di wilayah Humbahas.” Setiap hari pembalakan hutan diduga terjadi. Pembalakaan terjadi pada areal seluas 4 hektar. Hal sama juga telah disampaikan pihak KSPPM Parapat yang membidangi isu lingkungan,” Kata Dosmar Banjarnahor.
“Siapapun pelakunya, pastilah aparat tahu ini. Tak bisa dibohongi. Tiap malam, truk lewat dan lewatnya dari jalan raya juga,” ujar Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor, Jumat (8/12/2023).
Bahkan ia juga mempertanyakan izin para pembabat hutan tersebut sebab dirinya tak pernah memberikan izin pembabatan hutan. “Katanya, sudah ada izin. Izin darimana? Dari saya, tidak ada,” tuturnya.
Ia berharap, pihak APH harus tegas menyelidiki dugaan pembalakan hutan tersebut.
Ia juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta pihak pemerintah propinsi Sumatera Utara terjun ke lokasi melihat penyebab terjadinya banjir dan longsor. Pasalnya, dampak kejadian luar biasa bagi masyarakat sekitar.
“Kita berharap LHK, dari propinsi, serta kita sebagai masyarakat. Yang pasti, pelaku ini dari Masyarakat sekitar juga. Tidak mungkin dari daerah lain juga. Karena dampaknya luar biasa mengerikan,” kata Dosmar Banjarnahor.
Dikutip dari keterangan pers Direktur Perencanaan dan Pengawasan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan M. Saparis Soedarjanto, Jumat (8/12/2023), banjir bandang di lokasi merupakan bagian Daerah Aliran Sungai (DAS) Asahan Toba yang terjadinya pendangkalan sungai.
Titik bencananya ada di Sub Sub-DAS Nambunga dengan luas Daerah Tangkapan Air (DTA) adalah 478,28 hektare. Area terdampak banjir merupakan daerah perladangan, pertanian, dan permukiman yang berada bagian hilir sungai.
Secara administratif, lokasi itu merupakan Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbahas. “Jadi berdasarkan analisis yang kami lakukan, penyebab banjir adanya curah hujan yang tinggi, sementara kapasitas pengaliran sungai lebih kecil dari debit banjir. Pendangkalan pada alur sungai semakin menurunkan kapasitas pengaliran, sehingga luapan meningkat,” jelas M. Saparis Soedarjanto.
Menurutnya, curah hujan yang tinggi pada hulu DTA saat itu mencapai 41 mm per hari, yang menghasilkan debit aliran 20,3 m⊃3; per detik. Jumlah ini melebihi kapasitas pengaliran normal di angka 2,8 m⊃3; per detik. Pada saat bencana terjadi, kondisi diperparah dengan aliran Sungai Sibuni-buni yang meluap dengan debit limpasan melebihi kapasitas pengaliran. Aliran air membawa material berupa gravel (bongkahan batuan).
Batuan induk daerah tersebut berupa batu lempung yang tingkat konsolidasi materialnya rendah, sehingga mudah hancur dan bersifat lepas-lepas dan selanjutnya mengalami longsoran yang dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi.
Dari hasil pengamatan, kata M. Saparis Soedarjanto, material yang terbawa banjir merupakan hasil longsoran tipe ‘rock fall’ atau runtuhan. Proses longsor tipe rock fall ini juga menghasilkan material endapan yang didominasi oleh gravel.
Hal ini sejalan dengan konfigurasi topografis DTA banjir dan jenis batuannya yang terdiri dari batu lempung yang mudah hancur dan bersifat lepas-lepas.
Area ini merupakan batuan sedimen hasil pengendapan berbeda periode. Selain itu, akibat proses litostatis, tekanan dari lapisan atasnya berupa endapan baru, misal abu volkan dari letusan Toba sehingga bentuknya pipih-pipih dan mudah hancur.
KLHK mengungkap, berdasarkan analisis peta tutupan lahan, DTA banjir terdiri dari pertanian lahan kering seluas 320,64 hektare dan semak/belukar 157,64 ha. Berdasarkan tingkat kekritisan lahannya, area bencana berada dalam kondisi kritis seluas 151,34 ha, agak kritis 133,96 ha, dan potensial kritis 192,99 ha.
Soal solusi yang perlu dilakukan ke depan, KLHK mengungkap beberapa hal. Di antaranya, pembuatan bangunan konservasi tanah dan air, pelebaran dan pengerukan alur sungai, rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) pada lahan kritis di bagian hulunya. Selain itu, sosialisasi pemahaman Konservasi Tanah dan RHL serta tanggap bencana pada masyarakat.(lci)
Cek berita dan Artikel yang lain di Google News