Ketua DPRD Kota Batam, Nuryanto, memberikan reaksi dukungan terhadap media massa di Batam yang melakukan aksi damai menolak revisi undang-undang penyiaran yang dirasa melemahkan media, Senin (27/5/2024). Matapedia6.com/ Dok Humas DPRD Batam
MATAPEDIA6.com, BATAM – Ketua DPRD Kota Batam, Nuryanto menyambut kedatangan jurnalis Batam yang menggelar aksi damai di depan kantor DPRD Kota Batam, yang mengkritisi revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang tengah dibahas DPR RI, Senin (27/5/2025).
Dalam kesempatan tersebut Nuryanto yang akrab dikenal Cak Nur itu, mendengar aspirasi jurnalis Batam dan terakhir dirinya juga ikut membubuhkan tanda tangan penolakan revisi UU nomor 32 tahun 2022 yang dianggap melemahkan jurnalis.
Cak Nur mengatakan, dirinya turut mendukung kebebasan Pers yang sudah diperjuangkan sebagai buah dari reformasi.
“Kebebasan Pers dan penyiaran saat ini mestinya dapat dipertahankan, bukan diperkecil ruang lingkupnya,” kata Cak Nur.
Dia menjelaskan mengenai larangan Investigasi sangat tidak masuk akal karena Investigasi digunakan untuk mencari data sesuai fakta di lapangan.
“Kalau sebuah informasi tidak boleh diselidiki nanti cuma ujungnya asal bunyi. Kita akan meneruskan, tentu caranya ada mekanismenya ke pemerintah pusat,” kata Cak Nur.
Cak Nur mengatakan akan mengikuti mekanisme pemerintah pusat tentunya juga sebagai bagian dari pemerintahan juga penyampaian aspirasi ini sebagai kaki dari masyarakat.
Ketua DPRD Kota Batam Nuryanto saat membubuhkan tanda tangan dukungan penolakan revisi undang-undang penyiaran, Senin (27/5/2024). Matapedia6.com/Dok Humas DPRD
Sementara mengenai revisi undang-undang tersebut dirinya juga tidak sepakat karena Media pers menjadi pilar demokrasi, kalau sampai pilar demokrasi dibredel takut pilar itu terganggu dan tertutup.
Ketua PWI Kepri Andi mengatakan, pada prinsipnya bukan menolak UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Penyiaran itu dilakukan revisi, namun yang tidak disetujui dan ditolak adalah pasal-pasal yang diduga mengandung sejumlah ketentuan yang dapat digunakan, untuk mengontrol dan menghambat tugas-tugas jurnalistik.
Andi mengatakan beberapa pasal karet bahkan mengandung ancaman pidana bagi wartawan dan media, yang memberitakan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan pihak tertentu.
Tidak hanya wartawan, sejumlah pasal dalam RUU Penyiaran juga berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, dan diskriminasi terhadap kelompok marginal.
“Kekangan ini akan berakibat pada memburuknya industri media, dan memperparah kondisi kerja para buruh media dan pekerja kreatif di ranah digital,” ujarnya.
Beberapa pasal bermasalah dalam revisi ini memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), untuk mengatur konten media, yang dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan, seperti termuat pada draft pasal 8A huruf q, pasal 50B huruf c dan pasal 42 ayat 2.
Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan konten tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara, melalui rancangan sejumlah pasal yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.
Selain itu adanya ancaman pidana bagi wartawan yang melaporkan berita yang dianggap kontroversial, merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi wartawan.
Revisi ini juga sangat mungkin dapat digunakan untuk menekan media, agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu, yang merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan.
Seperti termuat dalam draft pasal 51E. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepri, Andi, menduga munculnya pasal bermasalah yang mengekang kebebasan berekspresi, berpotensi akan menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif, seperti tim konten YouTube, podcast, pegiat media sosial, dan sejenisnya.